A novel titled Slow Man (2005) written by J.M Coetzee reflects the paranoid toward society. Paranoid means being suspicious to other or society without clear reason and believing that others are trying to harm in some way. In this Novel, paranoid toward society is represented by the protagonist, Paul Rayment. He is a former photographer who lost his leg in the road accident. In this analysis, there are two actions conducted by protagonist about paranoid toward society. They are; refuse to take something that can change his appearance and hiding from society.
The reason protagonist refuse to take something that can change his appearance is he scare the society would mock him. The protagonist hates society because of he is a disable man. So do with the society, protagonist thinks the society would mock him as result of his disability. Therefore, the protagonist refuses to take some treatment and prosthesis because of he thinks he will be more different from the common human in society. He shows the projection about society after take some accident that can explained as his anxiety.
To hiding from society, the protagonist does not want to be famous with his photography works. He chooses to keep all of his old work with him and let another people discover his work after he dies. This action show the protagonist is afraid about mockery that comes from society. He is suspicious because the society would never accept him as the disable person. In his point of view, the society cannot accept someone who different with the majority people.
Thursday, October 13, 2011
Tuesday, October 11, 2011
Cerita Kacau Slow Man (2005) dari J.M Coetzee
Di tulis oleh rianda hardi dewanta
Kecewa karena kehilangan kaki dan terkena kekerasan seara tidak langsung di rumah sakit membuat Paul ingin mencari cara menghindari kekecewaan tersebut. Ego yang dimiliki oleh Paul berusaha menyesuaikan diri dengan kekecewaan yang dialaminya tersebut bersamaan dengan tuntutan Id yang menginginkan kakinya untuk kembali lagi sehingga dapat melakukan kegiatan normal dan tuntutan Super Egonya yang menginginkan dirinya untuk menerima keadaan dan melanjutkan sisa hidupnya.
Cara Paul untuk menghindari kekecewaan tersebut dengan cara menghindari untuk berjalan kembali, menghindari untuk bertemu dengan teman – temannya dengan cara tidak menjual foto – foto bersejarah pada abad 19 yang dimilikinya dan menghindari ketakutan terbesarnya ketika menginginkan posisi suami di keluarga Jokic. penghindaran yang dilakukan Paul termasuk mekanisme pertahanan secara rasional atau logis. Hal ini dikarenakan ketakutan terbesar yang dimiliki paul adalah dirinya tidak ingin di olok – olok oleh orang lain karena dia hanya memiliki satu kaki dan tidak mampu melakukan hal apapun tanpa bantuan dari orang lain.
Dia tidak menginginkan lagi berjalan dikarenakan Paul meyakini bahwa dirinya akan di olok – olok dan di berikan julukan yang tidak disenanginya oleh masyarakat. Hal ini lah yang membangun ketakutan terbesarnya sehingga menghasilkan sebuah proyeksi terhadap masyarakat sekitarnya. Proyeksi bermakna ketika seseorang memikirkan bahwa dirinya tidak menyukai seseorang, pasti orang tersebut tidak juga menyukai dirinya. Belum tentu orang yang memberikan dirinya sebuah julukan yang tidak disukainya adalah orang yang membencinya. Hal ini dikarenakan mungkin saja orang tersebut menunjukkan kepeduliannya terhadap Paul dengan memberikan sebuah julukan sehingga masyarakat yang lebih luas peduli pada dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan cara dia menolak tawaran menggunakan kaki palsu yang diberikan oleh tim medis terhadap dirinya karena dia takut beraktivitas seperti biasa dengan menggunakan hal yang baru dan dia takut masyarakat tidak menerimanya.
Paul tidak menginginkan bertemu dengan teman – temannya lagi. Dia sangat takut kalau teman – temannya tidak memiliki lagi rasa simpati terhadap dirinya sebagai orang yang cacat. Dia takut bahwa teman – temanya akan lebih menghindari dirinya sebagai orang yang cacat dan lemah. Dia tidak ingin terlihat seperti itu. Jelaslah bahwa Paul memiliki ketakutan terbesar dijauhi oleh teman – temannya. Oleh karena itu dia lebih memilih untuk menjauh dari teman – temannya dan tetap menjaga komunikasi dengan relasinya tersebut melalui telepon juga memilih untuk tidak bertemu secara tatap muka. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan barunya menceritakan tentang kuatnya dirinya kepada temannya Margaret dalam bertahan dalam menjalani kehidupan dengan satu kaki. Hal yang lain juga ditunjjukkan bahwa dia tidak ingin menjual koleksi foto – fotonya yang berharga kepada perpustakaan nasional karena dia tidak ingin teman – temannya berkunjung ke tempat tinggalnya dan melihat keaadaanya dengan kaki sebelah. Dengan kata lain dia tidak ingin menjadi terkenal karena dirinya takut teman – temannya akan menjauhi dirinya karena realitas yang ada membuat teman – temannya menjauh terhadap dirinya. Hal ini jelas menunjukkan sebuah proyeksi Paul terhadap teman – temannya. Dia tidak ingin terlihat tidak sempurna di hadapan relasinya. Karena dia takut relasinya tersebut tidak menyukai dirinya kembali dengan proses pertama dia tidak menyukai orang lain datang ketempat dia berada.
Ketika Paul sadar dia membutuhkan seseorang untuk merawat dirinya dia mendatangkan seorang perawat. Hal yang terjadi adalah dia jatuh hati kepada perawat yang telah bersuami dan memiliki tiga anak tersebut. Dia menyadari bahwa sebuah hal yang tidak mungkin untuk mengeliminasi posisi suami perawat itu denga cara langsung atau frontal. Jadi dia melakukannya dengan memberikan pengaruh terhadap keluarga perawat yang jelas tidak dia sukai itu dengan memberikan pinjaman yang cukup besar kepada keluarga perawat tersebut. Mengetahui hal itu suami perwat tersebut marah dan melampiaskan kemarahannya kepada istri dan anak – anaknya. Hal ini tidak disukai oleh paul dan dia pun berfikir suami perawat Itu juga tidak menyukai dirinya. Ternyata anggapan ini salah dikarenakan suami perawat itu tidak mempermasalahkan uangnya tapi dia mempermasalahkan pilihan yang dipilih oleh anak laki – lakinya dalam memilih tempat pendidikan yang menghilangkan sejarah asli dari negaranya.
Hal ini menujukkan sebuah tuduhan yang tidak jelas duduk permasalahannya sehingga Paul menaruh rasa tidak suka terhadap suami perawat tersebut. Berdasarkan ketidaksukaan itu dia berusaha menggantikan posisi suami perawat itu. Dia mencoba untuk menjadi sosok ayah bagi anak – anak perawat tersebut. Hal ini lah yang menjadi dasar proyeksi ego yang ada dalam diri paul yang menyebabkan dirinya menganggap suami perawat tidak menyukai dirinya didasari ketidaksukaan terhadap suami perawat tersebut.
Jadi Slow Man itu sendiri bermakna; proyeksi ego seseorang terhadap orang lain yang lambat laun membuat individu yang memiliki proyeksi ego tersebut terisolasi dari kehidupan social dan masyarakat. Hal ini membuat dirinya selalu menjadi orang yang skeptic atau orang yang berfikir setiap orang selalu tidak menyukai dirinya karena kekurangan dan kekecewaan yang dialaminya pada suatu waktu.
Labels:
literature
Friday, August 5, 2011
Desa Tanpa Kepala
Oleh: Rianda Hardi Dewanta
Dua hari setelah meninggalnya bapak kepala desa, Pak Edi dengan sigap langsung menulis , menggambar, memfotokopi, dan menyuruh orang – orang suruhannya menempel lembaran kertas tersebut di setiap tiang yang ada di desa dari ruangan yang di klaimnya sebagai ruangan kerjanya. Entah apa yang di buatnya, tetapi hal ini membuat warga desa terkagum – kagum karena di setiap tiang rumah mereka tertempel kertas – kertas yang berwarna merah itu. Mungkin di pikiran pak Edi supaya mudah di lihat dan diingat akan usahanya dalam membuat itu.
Jika di bilang bodoh, mayoritas dari anak – anak mereka telah mendapatkan gelar sarjana yang di bangga banggakan itu, sebagai tanda mereka telah pintar. Akan tetapi, mereka langsung menaggap Pak Edi sebagai seorang yang sangat hebat dan berkharisma. Sehingga semenjak saat itu Pak Edi langsung menjadi seperti dewa di Desa yang baru saja kehilangan kepalanya itu.
Saya jadi penasaran apakah yang ditulis oleh pak Edi yang ada di dalam kertas itu, ketika saya mau melihat, sungguh saya kehilangan kesempatan bukan karena tidak mampu, tapi tubuh ini yang tak mengizinkan. Saat saya akan melihat, selalu di halangi oleh tubuh – tubuh tinggi kekar bersepatu hitam dan tubuh yang berbau matahari. Sehingga saya tidak dapat membaca dengan jelas tulisan yang ada dalam kertas itu. Saya memang termasuk orang yang berpostur cukup kecil di desa ini jika dibandingkan dengan penduduk – penduduk yang lain.
Ketika saya menanyakan apa yang ada dikertas itu, mereka tidak mau memberi tahu saya. Karena mereka menganggap saya tidak bisa membaca. Tidak bisa membaca adalah sebuah hal yang sangat tabu di desa ini, karena mereka memiliki keturunan yang akan mengajarkan mereka cara membaca yang baik dan benar. Sesungguhnya mereka itu bisa membaca dikarenakan ada seorang ibu – ibu berhidung mancung, berkulit pucat dan bertopi aneh yang datang ke desa ini dan memaksa mereka untuk bisa membaca dengan baik dan benar sebagaimana orang – orang zaman sekarang bisa melakukannya dengan mudah.
Saya sungguh sedih ketika mengetahui kabar meninggalnya kepala desa di karenakan Tuberkolosis yang menular dari sapi tetangga. Kabar ini membuat saya berlari kehutan yang menurut orang – orang desa berhantu selama lima belas hari untuk menumpahkan kecewa, tapi saya tidak menemui seekorpun hantu di hutan ini. Sungguh aneh kepercayaan mereka yang sering beribadah dan menyembah Tuhan yang mereka percaya, tapi juga menuhankan akan hantu.
Sekembali dari hutan tersebutlah saya melihat orang desa berkumpul ramai sekali demi melihat dan membaca apa yang tertulis di kertas merah itu. Sampai – sampai saya tidak memiliki kesempatan untuk melihat warna tulisan yang ada di kertas yang berwarna merah itu. Sungguh terlalu.
Tiga hari berlalu tanpa ada kesempatan yang saya dapati. Akhirnya saya memiliki kesempatan dan membaca tulisan yang di tulis oleh pak Edi di kertas tersebut setelah pak Tono melakukan hal yang serupa dan membuat warga desa berbondong – bondong membaca tulisan pak Tono di ketras yang berwarna biru itu. Sungguh saya terkejut ternyata tulisan yang di tulis oleh pak Edi di dalam kertas merahnya adalah;
“ Pilih saya sebagai kepala desa, saya akan membuat ekonomi desa ini maju dengan memajukan administrasi penambahan biaya pertanian dan peternakan dengan pinjaman”.
Pantaslah warga desa membuat pak Edi seperti dewa karena uang yang dimiliki pak Edi di dalam pikiran mereka dapat membantu mereka dalam memajukan usaha masing –masing dengan dana pinjaman. Saya juga jadi tertarik. Saya teringat akan almarhum bapak Kepala desa, dia pasti tidak akan melakukan itu, saya yakin pasti ada akibat yang lumayan buruk apabila hal ini terjadi. Tapi apa boleh buat.
Setelah berselang tiga hari saya juga mendapatkan kesempatan untuk membaca kertas biru yang di tempelkan oleh Pak Tono. Ternyata pak Tono dengan indahnya menulis di kertas itu tulisan yang jika di bacakan akan berbunyi seperti ini,
“ saya percaya desa ini akan maju dan jaya seperti namanya nanti jika saya terpilih, maka saya akan membuka sebuah tempat wisata yang akan mendatangkan banyak devisa bagi Negara”.
Pantaslah warga desa menanggap Pak Tono seperti malaikat, ternyata dia adalah seseorang yang cinta bangsa dan mereka memanggilnya negarawan. Saya percaya, almarhum bapak kepala desa juga tidak akan melakukannya, pasti ada efek sampingnya.
Sungguh aneh desa yang kehilangan kepala ini, dahulu para warga bersatu padu untuk memajukan desa dan demi kesejahteraan mereka masing – masing. Tetapi sekarang mereka terbagi dua menjadi dua buah kubu yang mengkalim yaitu kubu merah dan kubu biru. Saya yakin pasti mereka menamainya di karenakan kertas yang di tulis oleh pak Edi dan pak Tono di setiap tiang yang ada di desa.
Sekarang desa saya tidak setentram dulu, dahulu anak – anak di desa saya sering melakukan pertandingan sepak bola, mereka menamainya pertandingan persahabatan. Sekarang mereka menamainya pertandingan adu kuat dalam lapangan. Dahulu di desa saya bapak – bapak sering melakukan ronda bersama, dangdutan orgen tunggal berjoget bersama. Sekarang mereka bisa hampir saling bunuh jika anggota kubu lain ketahuan bergabung untuk berpesta bersama kubu mayoritas yang sedang menggadakan pesta. Oh, bapak kepala desa, saya sungguh merindukan dirimu. OMBILAHOM
Setelah melihat keributan ini akhirnya bapak petinggi agama di desa saya turun lagsung kelapangan dengan tujuan mendamaikan kedua kubu ini dan menciptakan kerukunan seperti dulu. Tapi apa yang terjadi, mereka jadi megikuti kubu – kubu ini dikarenakan di bujuk oleh generasi penerus yang dianggap sangat pintar ini. Mereka di suruh memilih merah atau biru atau tidak ada teman. Sungguh.
Akhirnya titik terang pun muncul di ufuk timur. Saya masih bersukur tidak di ufuk barat. Pulanglah seorang anak muda yang baru lulus sarjana untuk kedua kalinya dari kota ke desa yang di cintainya. dia menemukan cara untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini dengan mengadakan pemilihan yang di lakukan oleh masyarakat desa, sehingga keselarasan tercipta. Tentunya calon kepala desa yang baru harus memenuhi syarat syarat yang ada.
Menurut saya ini lah cara yang paling jitu untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini, yaitu dengan syarat – syarat yang harus di penuhi oleh calon kepala desa. Orang yang baru pulang itu, saya lupa namanya membuat syarat – syarat yang langsung di setujui oleh warga desa. syarat – syaratnya seperti ini:
1. Memiliki kekayaan yang cukup
2. Berpengalaman dalam pemerintahan, baik organisasi atau apapun.
3. Memiliki disiplin yang tinggi.
4. Jeli melihat peluang demi kemajuan desa
5. Memiliki pengetahuan yang cukup akan desa dan seluk beluk isi baik secara fisik maupun social
6. TUA
Ket: jika salah satu syarat tidak terpenuhi, calon DILARANG mencalonkan diri sebagai kepala desa
Akhirnya kedua kubu ini pecah dan bersatu kembali di karenakan Pak Tono dan Pak Edi dianggap tidak mampu menduduki jabatan kepala desa ini. Mereka berdua tidak memenuhi salah syarat yang ada di dalam persyaratan tersebut yaitu; warga desa menganggap mereka masih muda dan layak untuk jadi orang yang memiliki pengalaman. Akan tetapi belum tentu TUA.
Sampai sekarang desa ini tidak memiliki kepala. Karena desa ini memiliki kepala pemerintahan yang di jabat oleh wakilnya dan sampai detik ini juga. Wasalam
Padang 27th July 2011
Rianda Hardi Dewanta
Dua hari setelah meninggalnya bapak kepala desa, Pak Edi dengan sigap langsung menulis , menggambar, memfotokopi, dan menyuruh orang – orang suruhannya menempel lembaran kertas tersebut di setiap tiang yang ada di desa dari ruangan yang di klaimnya sebagai ruangan kerjanya. Entah apa yang di buatnya, tetapi hal ini membuat warga desa terkagum – kagum karena di setiap tiang rumah mereka tertempel kertas – kertas yang berwarna merah itu. Mungkin di pikiran pak Edi supaya mudah di lihat dan diingat akan usahanya dalam membuat itu.
Jika di bilang bodoh, mayoritas dari anak – anak mereka telah mendapatkan gelar sarjana yang di bangga banggakan itu, sebagai tanda mereka telah pintar. Akan tetapi, mereka langsung menaggap Pak Edi sebagai seorang yang sangat hebat dan berkharisma. Sehingga semenjak saat itu Pak Edi langsung menjadi seperti dewa di Desa yang baru saja kehilangan kepalanya itu.
Saya jadi penasaran apakah yang ditulis oleh pak Edi yang ada di dalam kertas itu, ketika saya mau melihat, sungguh saya kehilangan kesempatan bukan karena tidak mampu, tapi tubuh ini yang tak mengizinkan. Saat saya akan melihat, selalu di halangi oleh tubuh – tubuh tinggi kekar bersepatu hitam dan tubuh yang berbau matahari. Sehingga saya tidak dapat membaca dengan jelas tulisan yang ada dalam kertas itu. Saya memang termasuk orang yang berpostur cukup kecil di desa ini jika dibandingkan dengan penduduk – penduduk yang lain.
Ketika saya menanyakan apa yang ada dikertas itu, mereka tidak mau memberi tahu saya. Karena mereka menganggap saya tidak bisa membaca. Tidak bisa membaca adalah sebuah hal yang sangat tabu di desa ini, karena mereka memiliki keturunan yang akan mengajarkan mereka cara membaca yang baik dan benar. Sesungguhnya mereka itu bisa membaca dikarenakan ada seorang ibu – ibu berhidung mancung, berkulit pucat dan bertopi aneh yang datang ke desa ini dan memaksa mereka untuk bisa membaca dengan baik dan benar sebagaimana orang – orang zaman sekarang bisa melakukannya dengan mudah.
Saya sungguh sedih ketika mengetahui kabar meninggalnya kepala desa di karenakan Tuberkolosis yang menular dari sapi tetangga. Kabar ini membuat saya berlari kehutan yang menurut orang – orang desa berhantu selama lima belas hari untuk menumpahkan kecewa, tapi saya tidak menemui seekorpun hantu di hutan ini. Sungguh aneh kepercayaan mereka yang sering beribadah dan menyembah Tuhan yang mereka percaya, tapi juga menuhankan akan hantu.
Sekembali dari hutan tersebutlah saya melihat orang desa berkumpul ramai sekali demi melihat dan membaca apa yang tertulis di kertas merah itu. Sampai – sampai saya tidak memiliki kesempatan untuk melihat warna tulisan yang ada di kertas yang berwarna merah itu. Sungguh terlalu.
Tiga hari berlalu tanpa ada kesempatan yang saya dapati. Akhirnya saya memiliki kesempatan dan membaca tulisan yang di tulis oleh pak Edi di kertas tersebut setelah pak Tono melakukan hal yang serupa dan membuat warga desa berbondong – bondong membaca tulisan pak Tono di ketras yang berwarna biru itu. Sungguh saya terkejut ternyata tulisan yang di tulis oleh pak Edi di dalam kertas merahnya adalah;
“ Pilih saya sebagai kepala desa, saya akan membuat ekonomi desa ini maju dengan memajukan administrasi penambahan biaya pertanian dan peternakan dengan pinjaman”.
Pantaslah warga desa membuat pak Edi seperti dewa karena uang yang dimiliki pak Edi di dalam pikiran mereka dapat membantu mereka dalam memajukan usaha masing –masing dengan dana pinjaman. Saya juga jadi tertarik. Saya teringat akan almarhum bapak Kepala desa, dia pasti tidak akan melakukan itu, saya yakin pasti ada akibat yang lumayan buruk apabila hal ini terjadi. Tapi apa boleh buat.
Setelah berselang tiga hari saya juga mendapatkan kesempatan untuk membaca kertas biru yang di tempelkan oleh Pak Tono. Ternyata pak Tono dengan indahnya menulis di kertas itu tulisan yang jika di bacakan akan berbunyi seperti ini,
“ saya percaya desa ini akan maju dan jaya seperti namanya nanti jika saya terpilih, maka saya akan membuka sebuah tempat wisata yang akan mendatangkan banyak devisa bagi Negara”.
Pantaslah warga desa menanggap Pak Tono seperti malaikat, ternyata dia adalah seseorang yang cinta bangsa dan mereka memanggilnya negarawan. Saya percaya, almarhum bapak kepala desa juga tidak akan melakukannya, pasti ada efek sampingnya.
Sungguh aneh desa yang kehilangan kepala ini, dahulu para warga bersatu padu untuk memajukan desa dan demi kesejahteraan mereka masing – masing. Tetapi sekarang mereka terbagi dua menjadi dua buah kubu yang mengkalim yaitu kubu merah dan kubu biru. Saya yakin pasti mereka menamainya di karenakan kertas yang di tulis oleh pak Edi dan pak Tono di setiap tiang yang ada di desa.
Sekarang desa saya tidak setentram dulu, dahulu anak – anak di desa saya sering melakukan pertandingan sepak bola, mereka menamainya pertandingan persahabatan. Sekarang mereka menamainya pertandingan adu kuat dalam lapangan. Dahulu di desa saya bapak – bapak sering melakukan ronda bersama, dangdutan orgen tunggal berjoget bersama. Sekarang mereka bisa hampir saling bunuh jika anggota kubu lain ketahuan bergabung untuk berpesta bersama kubu mayoritas yang sedang menggadakan pesta. Oh, bapak kepala desa, saya sungguh merindukan dirimu. OMBILAHOM
Setelah melihat keributan ini akhirnya bapak petinggi agama di desa saya turun lagsung kelapangan dengan tujuan mendamaikan kedua kubu ini dan menciptakan kerukunan seperti dulu. Tapi apa yang terjadi, mereka jadi megikuti kubu – kubu ini dikarenakan di bujuk oleh generasi penerus yang dianggap sangat pintar ini. Mereka di suruh memilih merah atau biru atau tidak ada teman. Sungguh.
Akhirnya titik terang pun muncul di ufuk timur. Saya masih bersukur tidak di ufuk barat. Pulanglah seorang anak muda yang baru lulus sarjana untuk kedua kalinya dari kota ke desa yang di cintainya. dia menemukan cara untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini dengan mengadakan pemilihan yang di lakukan oleh masyarakat desa, sehingga keselarasan tercipta. Tentunya calon kepala desa yang baru harus memenuhi syarat syarat yang ada.
Menurut saya ini lah cara yang paling jitu untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini, yaitu dengan syarat – syarat yang harus di penuhi oleh calon kepala desa. Orang yang baru pulang itu, saya lupa namanya membuat syarat – syarat yang langsung di setujui oleh warga desa. syarat – syaratnya seperti ini:
1. Memiliki kekayaan yang cukup
2. Berpengalaman dalam pemerintahan, baik organisasi atau apapun.
3. Memiliki disiplin yang tinggi.
4. Jeli melihat peluang demi kemajuan desa
5. Memiliki pengetahuan yang cukup akan desa dan seluk beluk isi baik secara fisik maupun social
6. TUA
Ket: jika salah satu syarat tidak terpenuhi, calon DILARANG mencalonkan diri sebagai kepala desa
Akhirnya kedua kubu ini pecah dan bersatu kembali di karenakan Pak Tono dan Pak Edi dianggap tidak mampu menduduki jabatan kepala desa ini. Mereka berdua tidak memenuhi salah syarat yang ada di dalam persyaratan tersebut yaitu; warga desa menganggap mereka masih muda dan layak untuk jadi orang yang memiliki pengalaman. Akan tetapi belum tentu TUA.
Sampai sekarang desa ini tidak memiliki kepala. Karena desa ini memiliki kepala pemerintahan yang di jabat oleh wakilnya dan sampai detik ini juga. Wasalam
Padang 27th July 2011
Rianda Hardi Dewanta
Labels:
literature

