Friday, August 5, 2011

Desa Tanpa Kepala

Oleh: Rianda Hardi Dewanta

Dua hari setelah meninggalnya bapak kepala desa, Pak Edi dengan sigap langsung menulis , menggambar, memfotokopi, dan menyuruh orang – orang suruhannya menempel lembaran kertas tersebut di setiap tiang yang ada di desa dari ruangan yang di klaimnya sebagai ruangan kerjanya. Entah apa yang di buatnya, tetapi hal ini membuat warga desa terkagum – kagum karena di setiap tiang rumah mereka tertempel kertas – kertas yang berwarna merah itu. Mungkin di pikiran pak Edi supaya mudah di lihat dan diingat akan usahanya dalam membuat itu.
Jika di bilang bodoh, mayoritas dari anak – anak mereka telah mendapatkan gelar sarjana yang di bangga banggakan itu, sebagai tanda mereka telah pintar. Akan tetapi, mereka langsung menaggap Pak Edi sebagai seorang yang sangat hebat dan berkharisma. Sehingga semenjak saat itu Pak Edi langsung menjadi seperti dewa di Desa yang baru saja kehilangan kepalanya itu.
Saya jadi penasaran apakah yang ditulis oleh pak Edi yang ada di dalam kertas itu, ketika saya mau melihat, sungguh saya kehilangan kesempatan bukan karena tidak mampu, tapi tubuh ini yang tak mengizinkan. Saat saya akan melihat, selalu di halangi oleh tubuh – tubuh tinggi kekar bersepatu hitam dan tubuh yang berbau matahari. Sehingga saya tidak dapat membaca dengan jelas tulisan yang ada dalam kertas itu. Saya memang termasuk orang yang berpostur cukup kecil di desa ini jika dibandingkan dengan penduduk – penduduk yang lain.
Ketika saya menanyakan apa yang ada dikertas itu, mereka tidak mau memberi tahu saya. Karena mereka menganggap saya tidak bisa membaca. Tidak bisa membaca adalah sebuah hal yang sangat tabu di desa ini, karena mereka memiliki keturunan yang akan mengajarkan mereka cara membaca yang baik dan benar. Sesungguhnya mereka itu bisa membaca dikarenakan ada seorang ibu – ibu berhidung mancung, berkulit pucat dan bertopi aneh yang datang ke desa ini dan memaksa mereka untuk bisa membaca dengan baik dan benar sebagaimana orang – orang zaman sekarang bisa melakukannya dengan mudah.
Saya sungguh sedih ketika mengetahui kabar meninggalnya kepala desa di karenakan Tuberkolosis yang menular dari sapi tetangga. Kabar ini membuat saya berlari kehutan yang menurut orang – orang desa berhantu selama lima belas hari untuk menumpahkan kecewa, tapi saya tidak menemui seekorpun hantu di hutan ini. Sungguh aneh kepercayaan mereka yang sering beribadah dan menyembah Tuhan yang mereka percaya, tapi juga menuhankan akan hantu.
Sekembali dari hutan tersebutlah saya melihat orang desa berkumpul ramai sekali demi melihat dan membaca apa yang tertulis di kertas merah itu. Sampai – sampai saya tidak memiliki kesempatan untuk melihat warna tulisan yang ada di kertas yang berwarna merah itu. Sungguh terlalu.
Tiga hari berlalu tanpa ada kesempatan yang saya dapati. Akhirnya saya memiliki kesempatan dan membaca tulisan yang di tulis oleh pak Edi di kertas tersebut setelah pak Tono melakukan hal yang serupa dan membuat warga desa berbondong – bondong membaca tulisan pak Tono di ketras yang berwarna biru itu. Sungguh saya terkejut ternyata tulisan yang di tulis oleh pak Edi di dalam kertas merahnya adalah;
“ Pilih saya sebagai kepala desa, saya akan membuat ekonomi desa ini maju dengan memajukan administrasi penambahan biaya pertanian dan peternakan dengan pinjaman”.
Pantaslah warga desa membuat pak Edi seperti dewa karena uang yang dimiliki pak Edi di dalam pikiran mereka dapat membantu mereka dalam memajukan usaha masing –masing dengan dana pinjaman. Saya juga jadi tertarik. Saya teringat akan almarhum bapak Kepala desa, dia pasti tidak akan melakukan itu, saya yakin pasti ada akibat yang lumayan buruk apabila hal ini terjadi. Tapi apa boleh buat.
Setelah berselang tiga hari saya juga mendapatkan kesempatan untuk membaca kertas biru yang di tempelkan oleh Pak Tono. Ternyata pak Tono dengan indahnya menulis di kertas itu tulisan yang jika di bacakan akan berbunyi seperti ini,
“ saya percaya desa ini akan maju dan jaya seperti namanya nanti jika saya terpilih, maka saya akan membuka sebuah tempat wisata yang akan mendatangkan banyak devisa bagi Negara”.
Pantaslah warga desa menanggap Pak Tono seperti malaikat, ternyata dia adalah seseorang yang cinta bangsa dan mereka memanggilnya negarawan. Saya percaya, almarhum bapak kepala desa juga tidak akan melakukannya, pasti ada efek sampingnya.
Sungguh aneh desa yang kehilangan kepala ini, dahulu para warga bersatu padu untuk memajukan desa dan demi kesejahteraan mereka masing – masing. Tetapi sekarang mereka terbagi dua menjadi dua buah kubu yang mengkalim yaitu kubu merah dan kubu biru. Saya yakin pasti mereka menamainya di karenakan kertas yang di tulis oleh pak Edi dan pak Tono di setiap tiang yang ada di desa.
Sekarang desa saya tidak setentram dulu, dahulu anak – anak di desa saya sering melakukan pertandingan sepak bola, mereka menamainya pertandingan persahabatan. Sekarang mereka menamainya pertandingan adu kuat dalam lapangan. Dahulu di desa saya bapak – bapak sering melakukan ronda bersama, dangdutan orgen tunggal berjoget bersama. Sekarang mereka bisa hampir saling bunuh jika anggota kubu lain ketahuan bergabung untuk berpesta bersama kubu mayoritas yang sedang menggadakan pesta. Oh, bapak kepala desa, saya sungguh merindukan dirimu. OMBILAHOM
Setelah melihat keributan ini akhirnya bapak petinggi agama di desa saya turun lagsung kelapangan dengan tujuan mendamaikan kedua kubu ini dan menciptakan kerukunan seperti dulu. Tapi apa yang terjadi, mereka jadi megikuti kubu – kubu ini dikarenakan di bujuk oleh generasi penerus yang dianggap sangat pintar ini. Mereka di suruh memilih merah atau biru atau tidak ada teman. Sungguh.
Akhirnya titik terang pun muncul di ufuk timur. Saya masih bersukur tidak di ufuk barat. Pulanglah seorang anak muda yang baru lulus sarjana untuk kedua kalinya dari kota ke desa yang di cintainya. dia menemukan cara untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini dengan mengadakan pemilihan yang di lakukan oleh masyarakat desa, sehingga keselarasan tercipta. Tentunya calon kepala desa yang baru harus memenuhi syarat syarat yang ada.
Menurut saya ini lah cara yang paling jitu untuk menghilangkan perselisihan antara dua kubu ini, yaitu dengan syarat – syarat yang harus di penuhi oleh calon kepala desa. Orang yang baru pulang itu, saya lupa namanya membuat syarat – syarat yang langsung di setujui oleh warga desa. syarat – syaratnya seperti ini:
1. Memiliki kekayaan yang cukup
2. Berpengalaman dalam pemerintahan, baik organisasi atau apapun.
3. Memiliki disiplin yang tinggi.
4. Jeli melihat peluang demi kemajuan desa
5. Memiliki pengetahuan yang cukup akan desa dan seluk beluk isi baik secara fisik maupun social
6. TUA
Ket: jika salah satu syarat tidak terpenuhi, calon DILARANG mencalonkan diri sebagai kepala desa
Akhirnya kedua kubu ini pecah dan bersatu kembali di karenakan Pak Tono dan Pak Edi dianggap tidak mampu menduduki jabatan kepala desa ini. Mereka berdua tidak memenuhi salah syarat yang ada di dalam persyaratan tersebut yaitu; warga desa menganggap mereka masih muda dan layak untuk jadi orang yang memiliki pengalaman. Akan tetapi belum tentu TUA.
Sampai sekarang desa ini tidak memiliki kepala. Karena desa ini memiliki kepala pemerintahan yang di jabat oleh wakilnya dan sampai detik ini juga. Wasalam


Padang 27th July 2011
Rianda Hardi Dewanta